Minggu, 17 Mei 2015

SELAMAT SIANG PEJUANG!


Menilik terang pagi, hati selalu menggelisahkan banyak pertanyaan, “Karya apa yang mau kita buat hari ini Tria? Akankah hari ini lebih baik dari hari kemarin Tria? Progres apa yang akan kita ciptakan untuk peningkatan kualitas hidup Tria?” dan keseluruhan dari rentetan pertanyaan itu harus di jawab jika tak mau meyesal ketika evaluasi malam. Iya, sejatinya hidup senantiasa di beri tuntutan. Ada deadline yang harus diselesaikan setiap harinya, deadline untuk negara, deadline untuk keluarga, untuk organisasi, untuk kuliah hingga untuk diri sendiri.

Dalam lingkungan sehari-hari, kita akan menemukan banyak sekali perbedaan. Ada lingkungan yang memaksa kita senantiasa berfikir masalah, masalah bangsa, masalah negara, masalah kepemimpinan, masalah sentimen sara, hingga masalah negara lain. Ada lingkungan yang dituntut bicara solusi, “kalau udah tau masalah pendidikan seperti itu, lo mau apa? Mau protes doang?” dan di tangan anak-anak muda kreatif masalah pendidikan di balik dengan jawaban “sekolah alam bengawan solo” yang tahun ini diapresiasi tingkat wirausaha muda mandiri. “Kalau udah tau masalah negara ini adalah ketidakmerataan beasiswa, terus lo mau keluh kesah doang?” dan akhirnya di jawab sama temen-temen jeneysis, pemburu beasiswa, sahabat beasiswa dengan mendistribusikan informasi beasiswa yang ternyata buanyak banget. “Ketika masalah bangsa ini adalah kemiskinan, terus lo mau teriak-teriak bantu orang miskin please?” itu semua di balik jadi perpaduan kolaborasi yang sangat baik oleh mahasiswa untuk mengangkat drajat orang miskin, marginal, terpinggirkan dengan pemberdayaan seperti Dreamdelion, Kitabisa, Sahabat Pulau, Flohope, Nalacity, dan lain-lain menjadi suatu aktivitas masyarakat yang produktif.

Dunia ini sudah sesak dengan orang yang berkeluh kesah, aku pun sanggup sehari semalam berkeluh kesah tak habis-habis dan tak karuan, sungguh jika hanya berkeluh kesah pun aku bisa, semua juga bisa. Kita butuh generasi yang gelisah, yang kemudian dari kegelisahan ia melakukan banyak hal, bukan berhenti meneriakan keluh kesah kemudian hilang. Trial and learning, mencoba sesuatu kemudian belajar, mencoba yang lain dan menjadi lebih banya belajar, dan terus mencoba hingga akhirnya tau, “mencari solusi yang tepat, tidak semudah ketika berkeluh kesah tak berdampak”.

Aku ingin berkisah sayang, sedikit kisah tentang bagaimana sulitnya berjuang walau targetnya hanya 9 masjid. Atau satu rumah dengan isinya mental disorder, atau satu desa dengan pendidikan tertinggal, atau satu keluarga dengan keadaan tidak menerima anaknya schizophrenia. Sudah sejak Oktober 2014, aku dan teman-teman mendirikan usaha Lova Laundry. Hingga hari ini, 6 bulan berlalu, kita semua masih belajar. Belajar bagaimana mengantarkan laundryan tepat waktu, memberikan pelayanan jasa terbaik, memastikan pakaian di cuci dengan bersih dan kembali dalam keadaan wangi, memberikan pelayanan terbaik untuk fasilitas laundry gratis alat ibadah, hingga belajar pembukuan company yang baik dan benar. Dan subhanallah! Rasanya luar biasa. Senikmat-nikmatnya pelajar adalah kesempatan belajar. Visi misinya sederhana, Lova Laundry bisa menjadi bisnis sosial yang suistanable development dengan target sasaran, memastikan seluruh masjid kampus bisa laundry gratis dengan keadaan mukena dan sarung yang membuat setiap insan beribadah untuk Allah-nya merasa nyaman. Namun misi sesederhana itu saja, jika diimplementasikan tak semudah ketika kita protes “kenapa pengurus masjid di sini ga memperhatikan kebersihan? Mukena bau dan apek. Bener-bener ga mutu.”

Begitu juga ketika kita berusaha untuk memastikan bahwa kita mampu mewujudkan pendidikan berkualitas dan merata di seluruh Indonesia. Sampailah aku ketika mengajar di Sumatera, Entikong Kalimantan, Polman Sulbar, Banda Aceh, bahwa pendidikan yang kita desain dan konsep di kota itu ga sesuai dengan kebutuhan anak-anak disini. Mereka tak butuh Layar besar dengan proyektor canggih di kelas, mereka hanya butuh jendela karena muatan kelasnya melebihi bangku yang disediakan, dan di desa mereka tidak ada listrik jika siang. Mereka juga tak butuh kurikulum berbahasa inggris dengan standar internasional, mereka hanya butuh guru pengajar yang datang setiap hari ke sekolah dengan senyum sumringah. Iya, ternyata untuk mewujudkan hal terkecil dari pendidikan berkualitas, juga tak semudah ketika kita berkeluh kesah dan protes menuntut pendidikan harus a,b,c tapi tak meluangkan waktu barang sejenak untuk turun ke lapangan langsung dan melihat bagaimana pendidikan sebener-benarnya di jalan.

Begitu juga ketika kita berikrar, ingin memudahkan dan mengangkat kehidupan orang-orang dengan gangguan jiwa. Sungguh banyak sekali rintangan, kendala, hingga proses panjang untuk bisa menciptakan kebermanfaatan dan dampak nyata bagi mereka.

Namun secara keseluruhan, aku bersyukur dengan kemurahan Allah memberi semangat dari banyak arah. Memberi kesempatan belajar baik disadari maupun tidak disadari. Memberi tahu “siapa kawan siapa teman yang menikam belakang”. Semua bisa kita pelajari jika kita mau berproses. Mencari keuntungan besar dengan tidak mengelak jika resikonya juga besar.

Aku bersyukur sudah tergabung di beberapa forum nasional sejak awal kuliah, yang ketika kami dikumpulkan, kami selalu di tuntut berfikir solusi yang akan direkomendasikan dan syukur-syukur bisa diimplementasikan di daerah masing-masing. Aku juga bersyukur, sejak awal kuliah sudah di ajak presiden BEM bertemu dengan banyak tokoh, mendiskusikan problem negara ini dengan pemain langsung di perpolitikan negeri ini, yang membuat aku berfikir terbuka bahwa masalah Indonesia tak bisa diselesaikan dengan sempitnya wawasan. Aku juga bersyukur lahir dari keluarga dengan ekonomi yang seadanya, yang membuat aku berada dilingkaran dengan senyata-nyatanya kemiskinan. Aku bersyukur jika hari ini aku bisa membantu memudahkan urusan teman perkara skripsi dari jaringan yang aku miliki. Sudahlah, bersyukur adalah cara termanis menikmati seluruh perjalanan hidup. “Mau disyukuri atau tidak, hidup sudah ditakdirkan sedemikian rupa. Siapa yang bersyukur akan ku tambah nikmatnya, siapa yang kufur maka siksa Allah sungguh perih” –begitu tulisan nabila keponakanku di dinding kamarnya.


Sekali lagi, tak perlu difikirkan berlebihan soal pandangan orang lain, mengingat orang hanya melihat hasilnya bukan prosesnya. Kita yang menjalani prosesnya dan kita yang bisa menikmati hikmahnya. Selamat siang pejuang, selamat melanjutkan perjuangan sekalipun tanpa tepuk tangan, Allah maha tahu perkara kebaikan hambanya! :”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar